Budi Wiweko
(Penulis adalah Guru besar FKUI, Wakil Direktur IMERI-FKUI dan Ketua Komisi 2 Senat Akademik UI sekaligus pemenang pertama dosen berprestasi nasional tahun 2015)
Masih segar ingatan kita semua mengenai tantangan Bapak Presiden RI pada Pertemuan Forum Rektor di Makassar yang menyatakan perguruan tinggi saat ini “jalan di tempat” dan program studi perguruan tinggi di Indonesia dianggap tidak mengakomodir kepentingan dan kebutuhan masyarakat serta tidak menjawab masalah kekinian.
Berdasarkan data QS ranking, sebuah lembaga yang menentukan peringkat Universitas di dunia, posisi Universitas ditentukan berdasarkan reputasi akademik dosen dan karyawan, jumlah publikasi internasional, jumlah sitasi, serta jumlah dosen dan mahasiswa internasional di perguruan tinggi tersebut. Tidaklah heran kalau Perguruan Tinggi di Indonesia juga berlomba-lomba mengejar target QS karena sampai saat ini Universitas Indonesia sebagai Perguruan Tinggi yang menduduki peringkat tertinggi di Indonesia hanya menempati posisi 292 dunia, bandingkan dengan Nanyang Technology University Singapore yang menduduki peringkat 13 atau National University Singapore yang menempati peringkat 15 dunia.
Kondisi sebaliknya bisa kita tinjau pada terminologi “The most innovative University in the world” yang menempatkan posisi Perguruan Tinggi berdasarkan jumlah hak paten yang diproduksi. Sepuluh besar peringkat dunia didominasi oleh Perguruan Tinggi negeri Paman Sam dengan satu Perguruan Tinggi dari benua Asia menduduki peringkat ke-6 yaitu Korean Advanced Institute of Science and Technology (KAIST). Kita bisa melihat lebih detail bagaimana perguruan tinggi dunia mencetak ratusan paten internasional yang kemudian diproduksi secara massal oleh industri. Perguruan tinggi berlomba-lomba menjadi mesin “Research and Development” industri melalui berbagai riset dan inovasinya.
Stanford University menghasilkan 621 paten internasional pada kurun waktu 2009 – 2014 yang didominasi oleh produk alat kesehatan, obat dan bioteknologi lainnya. Untuk menilai potensi komersial lahir dari sebuah riset dapat dinilai berdasarkan berapa banyak produksi hak paten “mensitasi” publikasi hasil riset tersebut. Dengan kata lain sebuah riset akan sampai pada titik inovasi bila mampu mencapai paten dan diproduksi secara massal. Konsep inilah yang sekarang diacu oleh berbagai universitas ternama di dunia untuk mengangkat Perguruan Tinggi sebagai area yang memiliki potensi keekonomian.
Knowledge economy
Menurut organization for economic cooperation and development (OECD), konsep “knowledge economy” saat ini dikenal sebagai pengendali utama produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang fokus pada peran dan pemanfaatan informasi, teknologi serta pembelajaran bagi kemajuan ekonomi. Perguruan tinggi merupakan lembaga yang memenuhi kriteria sebagai lokomotif untuk mengembangkan area “knowledge economy” di setiap negara.
Beberapa dekade terakhir kemajuan ekonomi di negara Eropa dikendalikan oleh teknologi yang berasal dari diseminasi pengetahuan dan informasi yang terutama datang dari Perguruan Tinggi. Konsep “knowledge based economy” mengacu pada pentingnya tenaga kerja dengan kemampuan dan ketrampilan tinggi untuk terus memimpin terjadinya proses inovasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dunia perguruan tinggi memiliki sumber daya manusia terbaik sebagai aset yang menguasai teknologi untuk berproduksi. Melalui kapasitas intelektual yang dimiliki oleh dosen, mahasiswa dan karyawan, Perguruan Tinggi mampu melakukan akselerasi produksi dan pelayanan di berbagai sektor.
Universitas Katolik Leuven di Belgia merupakan salah satu Universitas di Eropa yang sukses dalam mengembangkan “Knowledge economy region” bersumber pada semua hasil riset dan inovasi yang lahir dari institusi tersebut. Gebrakan ini sukses membawa Leuven sebagai pemuncak tertinggi Universitas di Eropa dan peringkat ke-5 di dunia dalam bidang inovasi.
University invention will change the world
Hal penting dalam knowledge economy adalah bagaimana ilmu pengetahuan berdifusi, terdistribusi dan dapat termanfaatkan dengan baik. Konsep knowledge economy telah melahirkan pola atau model inovasi linier yang menghubungkan secara langsung antara kegiatan riset dan inovasi dengan kapasitas produksi. Kolaborasi universitas dan industri diharapkan akan menutup “The valley of death” serta mengakselerasi pencapaian tingkat kesiapan teknologi setiap hasil riset.
Sejarah membuktikan bahwa semua inovasi terdepan di dunia selalu lahir dari Universitas, di antaranya adalah penemuan Penicillin oleh Howard Florey dari University of Oxford tahun 1939, penemuan tes Pap oleh Nicolas Papanicolaou dari Cornell University tahun 1939, penemuan USG oleh Ian Donald dari University of Glasgow tahun 1958, penemuan LCD oleh James Fergason dari Kent State University tahun 1967, penemuan MRI oleh Paul Laterbur dari University of New York tahun 1970 dan penemuan teknologi DNA rekombinan oleh Stanley Cohen dari UCLA tahun 1974.
Mengubah “Death of Valley” di Perguruan Tinggi Indonesia menjadi “Silicon Valley”
Akselerasi pencapaian public private partnership difasilitasi oleh Pemerintah melalui paket kebijakan ekonomi yang bertujuan memudahkan semua proses inovasi sejak hulu hingga hilir. Dalam bidang kesehatan Paket Kebijakan Ekonomi ke-11, Presiden menginstruksikan agar semua mitra bestari mendukung kemandirian bidang obat dan alat kesehatan melalui kerja sama lintas sektoral dan public private partnership.
Kebutuhan obat dan alat kesehatan di Indonesia selama ini masih tergantung pada produk impor dengan proporsi sebesar 90 – 95 %. Data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia pada tahun 2014 menunjukkan total impor alat kesehatan sebesar 750 juta USD dengan nilai ekspor hanya sebesar 165 juta USD. Rata-rata pertumbuhan industri alat kesehatan mencapai 12.8% per tahun.
Data yang kurang lebih sama terlihat pada bidang industri obat. Pasca penerapan sistem Jaminan Kesehatan Nasional, pasar obat generik tahun 2015 meningkat 12,5% (dalam nilai) atau 16% (dalam jumlah riil). Kondisi yang sangat ironi adalah 90% bahan baku farmasi di Indonesia masih diimpor, hal ini menunjukkan struktur industri farmasi yang belum optimal. Partner utama bahan baku farmasi Indonesia adalah Cina (60%) dan India (30%) dengan nilai impor kurang lebih 1.3 milyar USD.
Indonesia memiliki 11 Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH) yang memiliki potensi besar dalam membangun wilayah keekonomian berbasis pengetahuan (Knowledge Economy Region). Pimpinan perguruan tinggi harus cerdas melihat peluang di tengah masih banyak-nya kekurangan, inilah yang dikenal dengan jiwa entrepreneur.
Entrepreneurial University: Science is partner with commercial vision and entrepreneurial effort
Slogan di atas menunjukkan bahwa visi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sangat dekat dengan jiwa entrepreneur. Bukanlah tidak mungkin saat ini para pimpinan perguruan tinggi berlomba-lomba membangun area “Knowledge Economy” di Indonesia, sebutlah misalnya “Jakarta Knowledge Economy Region”, “Bogor Knowledge Economy Region”, “Bandung Knowledge Economy Region”, “Surabaya Knowledge Economy Region”, “Medan Knowledge Economy Region” atau “Makassar Knowledge Economy Region”.
Para pimpinan PTN-BH memiliki otoritas penuh dalam mengatur anggaran rumah tangga dan keuangan mereka sendiri dengan tujuan meningkatkan kualitas serta peran perguruan tinggi bagi pembangunan negara kita tercinta. Sudah waktunya kita menghilangkan stigma kelambanan dan kompleksitas birokrasi di Perguruan Tinggi, tetapi sebaliknya “Speed and Simplified” harus diusung serta ditawarkan kepada semua mitra bestari untuk mengakselerasi gerakan yang masif dan sistemik dalam membangun area “Knowledge Economy”. Para ilmuwan Indonesia merupakan aset yang sangat potensial dan terlalu berharga untuk di-sia-siakan, kini saatnya dunia Perguruan Tinggi bangkit dan menjadi motor bagi kemajuan negara dan bangsa Indonesia.
“The one who are crazy enough to change the world are the ones who do”………(Steve Jobs).